Monday, 13th October 2025
by Admin
Imuners pasti udah sering denger soal DBD sama chikungunya, tapi kalau disuruh ngebedain gejala kedua penyakit ini mungkin bakal bingung karena gejala keduanya mirip-mirip.
Selain mirip, penularan penyakit ini juga sama yaitu melalui gigitan nyamuk.
Meskipun memiliki banyak kesamaan, penting untuk tahu perbedaan antara DBD dan chikungunya karena penanganan dari kedua penyakit ini sangat berbeda.
Seperti apa sebenarnya perbedaan antara DBD dan chikungunya? Bagaimana cara mencegah dan mengobati dua penyakit ini? Yuk, simak penjelasan selengkapnya berikut ini.
DBD dan chikungunya adalah dua penyakit yang sama-sama ditularkan oleh nyamuk Aedes, tetapi memiliki perbedaan yang penting untuk diidentifikasi.
DBD disebabkan oleh virus dengue dan sering menyebabkan penurunan trombosit, perdarahan, bahkan bisa berujung pada syok jika tidak ditangani.
Gejalan DBD mencakup demam tinggi, nyeri di belakang mata, dan tanda-tanda perdarahan.
Sementara itu, chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya dan dikenal karena gejala nyeri sendi hebat yang bisa bertahan lama bahkan setelah demam reda.
Meski jarang menyebabkan kematian, chikungunya tetap bisa mengganggu aktivitas harian.
Kedua penyakit ini membutuhkan penanganan cepat untuk mencegah komplikasi lebih parah dan juga butuh untuk dicegah melalui program pengendalian nyamuk.
Dari segi cara penularan, DBD dan chikungunya memiliki mekanisme yang hampir sama yaitu melalui gigitan nyamuk.
Nyamuk Aedes, yang biasanya aktif menggigit pada pagi dan sore hari, menjadi perantara utama penyebaran virus.
Dua jenis nyamuk yang paling sering menjadi penyebab DBD dan chikungunya adalah nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes albopictus.
Saat nyamuk ini menggigit seseorang yang sedang terinfeksi virus, virus tersebut bisa terbawa dan menular ke orang berikutnya yang digigit.
Karena itu, satu nyamuk bisa menjadi penyebar penyakit dari satu orang ke orang lain, terutama di lingkungan yang padat dan kurang bersih.
Meski sama-sama disebarkan oleh nyamuk yang sama, masa inkubasi kedua penyakit ini sedikit berbeda.
DBD biasanya menunjukkan gejala antara 4 sampai 10 hari setelah seseorang digigit nyamuk yang terinfeksi. Sedangkan pada chikungunya, gejala bisa muncul lebih cepat, sekitar 2 sampai 7 hari.
Masa inkubasi ini penting untuk dikenali karena orang yang tampak sehat setelah digigit nyamuk tetap bisa membawa virus di dalam tubuhnya.
Gejala awal dari DBD dan chikungunya terbilang sangat mirip yaitu demam tinggi, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, serta munculnya ruam di kulit. Akan tetapi, ada perbedaan yang cukup jelas jika diperhatikan lebih dalam.
Pada DBD, gejala khas yang sering muncul yaitu nyeri di belakang mata, mual, muntah, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan seperti mimisan atau gusi berdarah.
DBD juga memiliki fase kritis yang berbahaya, dan biasanya terjadi saat demam mulai turun.
Di fase ini, penderita DBD bisa mengalami kebocoran plasma darah, penurunan trombosit secara drastis, bahkan syok. Tanpa penanganan medis yang cepat, kondisi ini bisa mengancam nyawa.
Sementara itu, chikungunya lebih menonjolkan gejala nyeri sendi yang parah.
Penderita chikungunya sering merasa kesulitan untuk berjalan atau menggerakkan tubuh karena nyeri hebat, terutama di bagian tangan, pergelangan, lutut, dan kaki.
Bahkan setelah demam turun, nyeri sendi bisa bertahan selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan pada sebagian orang.
Meski jarang menyebabkan kematian, chikungunya tetap berdampak serius terhadap kualitas hidup penderitanya, terutama jika nyeri sendi berkepanjangan.
Untuk memastikan seseorang menderita DBD atau chikungunya, pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan.
Observasi gejala awal saja tidak cukup karena keduanya memiliki gejala yang sangat mirip di awal.
Pada DBD, biasanya akan ditemukan penurunan trombosit yang signifikan dan peningkatan hematokrit.
Dokter juga bisa menggunakan tes NS1 atau IgM/IgG untuk mendeteksi virus dengue.
Sementara itu, pada chikungunya, trombosit umumnya tetap normal atau hanya sedikit menurun, dan diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR atau tes antibodi terhadap virus chikungunya.
Baik DBD maupun chikungunya belum memiliki obat antivirus khusus hingga saat ini.
Artinya, pengobatannya bersifat suportif yang tujuannya untuk meredakan gejala dan membantu tubuh melawan infeksi secara alami.
Pada DBD, penanganan dilakukan dengan cara menjaga cairan tubuh agar tidak dehidrasi, istirahat total, dan menggunakan obat penurun demam seperti paracetamol.
Penting untuk menghindari obat seperti ibuprofen atau aspirin karena bisa memperbesar resiko perdarahan.
Pada chikungunya penanganan dilakukan dengan cara istirahat dan keluhan nyeri sendi biasanya diredakan dengan paracetamol atau dengan obat antiinflamasi ringan.
Bila nyeri sendi ini menetap dalam waktu yang lama, bisa saja penderita perlu terapi tambahan, seperti fisioterapi atau obat khusus untuk sendi, sesuai arahan dokter.
Dari segi resiko komplikasi, DBD memang lebih berbahaya jika dibandingkan dengan chikungunya.
Kalau tidak ditangani dengan cepat, DBD bisa menyebabkan syok, perdarahan hebat, kerusakan organ, bahkan kematian.
Sementara itu, chikungunya mungkin tidak seberbahaya itu dalam jangka pendek, tapi tetap bisa mengganggu kualitas kehidupan sehari-hari.
Nyeri sendi yang menetap bisa membuat aktivitas fisik menjadi terbatas dan menurunkan produktivitas, terutama bagi mereka yang pekerjaannya memerlukan mobilitas tinggi.
Pencegahan DBD dan chikungunya sebenarnya bergantung pada dua hal yaitu dengan menjaga kebersihan lingkungan juga dengan imunisasi.
Karena dua-duanya ditularkan oleh nyamuk Aedes, maka mencegah gigitan nyamuk menjadi kunci utama.
Langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain adalah menguras tempat penampungan air, menutup wadah air, dan mendaur ulang barang-barang bekas yang bisa menampung air hujan.
Menggunakan lotion anti nyamuk, memasang kelambu saat tidur, serta mengenakan pakaian tertutup saat berada di luar rumah juga sangat disarankan.
Selain menjaga lingkungan, imunisasi dari DBD juga sudah bisa dilakukan. Selain mencegah terpapar penyakit imunisasi juga bisa menurunkan tingkat keparahan ketika terkena.
DBD memiliki potensi untuk menjadi penyakit mematikan, dan imunisasi bisa menghindarkan kita dari resiko ini.
Saat musim hujan, nyamuk berkembang biak dengan cepat, sehingga kewaspadaan perlu ditingkatkan.
Hal lain yang perlu diperhatikan ketika terkena DBD atau chikungnya adalah waktu yang tepat untuk mencari pertolongan medis.
Bila demam tinggi tidak turun dalam dua hari, muncul ruam, nyeri hebat, atau tanda-tanda perdarahan, sebaiknya segera periksa ke puskesmas atau rumah sakit.
Jangan menunggu sampai kondisi semakin parah. Semakin cepat diagnosis dilakukan, semakin besar peluang pasien untuk pulih tanpa komplikasi.
DBD dan chikungunya memang punya banyak kemiripan, terutama dari sisi gejala awal dan cara penularannya, tapi tetap masih bisa dibedakan.
DBD bisa membahayakan nyawa dalam waktu singkat jika tidak ditangani dengan baik, sedangkan chikungunya cenderung mengganggu dalam jangka panjang lewat nyeri sendi yang berkepanjangan.
Dengan memahami perbedaan antara kedua penyakit ini, kita bisa lebih waspada dan tidak panik ketika menghadapi situasi darurat.
Jangan anggap remeh gejala demam tinggi, apalagi jika terjadi saat sedang banyak kasus DBD atau chikungunya di sekitar kita.
Sumber