Monday, 24th March 2025
by Admin
Imuners mungkin udah sering denger soal bahaya dari Tuberkulosis (TB), tapia pa Imuners juga udah tahu cara mencegah dan mengobati TB supaya enggak jadi lebih parah?
TB merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang umumnya menyerang paru-paru tapi bisa juga menyebar ke organ lain.
Meskipun sudah ada sejak lama, pencegahan dan pengobatan TB masih jadi tantangan serius di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Kali ini, kita akan membahas bagaimana cara mencegah TB dan bagaimana mengobatinya jika seseorang sudah terkena. Berikut ini pembahasan selengkapnya!
Sebelum membahas lebih lanjut soal cara pencegahan dan pengobatan TB, kita perlu tahu dulu bagaimana mekanisme penularan TB.
TB menular melalui droplet (butiran kecil air liur) kecil di udara, biasanya droplet ini menyebar saat penderita TB aktif batuk, bersin, atau berbicara.
Bakteri TB keluar bersama droplet dan bisa terhirup oleh orang di sekitarnya, tapi tidak semua orang yang terpapar langsung sakit.
Banyak yang justru hanya mengalami infeksi TB laten, yaitu kondisi saat bakteri TB sudah masuk ke tubuh tetapi belum aktif dan tidak menular.
TB laten bisa berubah menjadi TB aktif sewaktu-waktu, apalagi kalau daya tahan tubuh sedang lemah.
Oleh karena itu, penting untuk tahu cara mencegah penularan dan cara mengobati TB yang baik dan benar.
Pencegahan TB bisa dilakukan dengan beberapa langkah praktis namun tetap terbukti efektif, terutama jika diterapkan secara konsisten.
Berikut ini beberapa langkah yang bisa Imuners aplikasikan untuk mencegah penularan TB.
Jika seseorang sudah terdiagnosis TB laten, sebaiknya langsung melakukan pengobatan walau belum merasakan gejala apapun.
Hal ini penting untuk mencegah agar bakteri tidak “bangun” dan berkembang menjadi TB aktif.
CDC dan WHO menyarankan beberapa regimen obat untuk TB laten yaitu:
Pengobatan ini harus diawasi tenaga kesehatan, apalagi untuk kelompok beresiko tinggi seperti penderita HIV, diabetes, atau orang yang tinggal serumah dengan penderita TB aktif.
Pencegahan bukan dilakukan oleh orang yang sehat saja, penderita TB aktif juga perlu melakukan langkah-langkah tertentu untuk meminimalisir penularan.
Bagi penderita TB aktif, ada beberapa cara untuk mencegah agar penyakitnya tidak menular ke orang lain yaitu:
Di Indonesia, imunisasi BCG (Bacillus Calmette–Guérin) diberikan saat bayi untuk mencegah bentuk TB yang berat pada anak-anak
Imunisasi ini memang tidak menjamin 100% terhindar dari TB, terutama di usia dewasa, tapi tetap penting untuk dilakukan sebagai perlindungan awal.
Untuk Imuners atau kerabat dekat Imuners yang memiliki bayi yang ingin mendapatkan imunisasi BCG bisa datang ke Klinik Imunicare terdekat .
Di Klinik Imunicare , Imuners bisa mendapatkan pelayanan imunisasi terbaik dengan tenaga medis professional dan kualitas vaksin yang digunakan pun sudah sesuai standar kesehatan.
Orang yang bekerja di fasilitas kesehatan, tempat penampungan, atau tempat ramai orang berkumpul memiliki resiko lebih tinggi tertular TB.
Ketika berada di lingkungan yang tinggi resiko penularan, sebaiknya gunakan alat pelindung seperti masker dan sering-sering mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer .
Kalau merasakan gejala seperti batuk yang tidak kunjung sembuh, segera lakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan terdekat.
Bagi wisatawan atau pekerja yang akan bepergian ke daerah dengan angka TB tinggi, penting untuk berkonsultasi ke dokter sebelum melakukan perjalanan.
Terkadang perlu tes TB sebelum dan sesudah perjalanan, terutama jika akan tinggal lama atau bekerja di bidang kesehatan.
Kalau seseorang sudah terkena TB aktif, jangan panik. Penyakit ini bisa disembuhkan asal pengobatannya dijalani dengan benar.
Ada beberapa regimen pengobatan yang disarankan tergantung dari gejala dan jenis TB yang diderita.
Berikut ini beberapa regimen pengobatan yang umum diberikan kepada penderita TB.
Regimen pengobatan 6 bulan biasanya menjadi pilihan utama dalam pengobatan TB aktif yang sensitif terhadap obat.
Regimen pengobatan ini terdiri dari dua fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan.
Fase intensif adalah fase yang berlangsung selama dua bulan. Pada fase ini, pasien akan mengonsumsi empat jenis obat secara bersamaan, yaitu Isoniazid, Rifampin, Pyrazinamide, dan Ethambutol.
Tujuan dari fase intensif ini adalah untuk membunuh sebagian besar bakteri TB secara cepat dan mengurangi gejala.
Setelah fase intensif selesai, pengobatan dilanjutkan ke fase lanjutan selama empat bulan.
Pada fase ini, hanya dua obat yang digunakan, yaitu Isoniazid dan Rifampin.
Fase lanjutan bertujuan untuk memastikan bahwa semua sisa bakteri benar-benar hilang dari tubuh, sehingga risiko kambuh atau resistansi bisa ditekan seminimal mungkin.
Metode pengobatan ini merupakan salah satu alternatif terbaru yang dikembangkan untuk pengobatan TB aktif yang sensitif terhadap obat.
Regimen ini menggunakan kombinasi empat jenis obat, yaitu Rifapentin, Moxifloxacin, Isoniazid, dan Pyrazinamide.
Penggunaan Rifapentin dan Moxifloxacin menggantikan Rifampin dan Ethambutol dari rejimen standar, dengan tujuan mempercepat penyembuhan dan memperpendek durasi pengobatan.
Total pengobatan hanya berlangsung selama 4 bulan atau sekitar 17 minggu, jauh lebih singkat dibandingkan regimen pengobatan standar yang berlangsung 6 bulan.
Meskipun lebih singkat, efektivitas regimen ini dalam membunuh bakteri TB sudah terbukti setara dengan regimen yang lebih lama, tetapi tidak semua pasien bisa menjalani regimen ini.
Regimen 4 bulan ini direkomendasikan hanya untuk pasien yang berusia di atas 12 tahun, memiliki berat badan minimal 40 kilogram, dan tidak memiliki resistansi terhadap obat-obatan yang digunakan dalam regimen ini.
Selain itu, pasien juga tidak boleh memiliki kontraindikasi seperti gangguan hati berat atau efek samping parah dari salah satu obat.
Oleh karena itu, sebelum menggunakan rejimen ini, tenaga medis perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi pasien.
Metode pengobatan TB ini umumnya digunakan dalam kondisi khusus, terutama ketika pasien tidak cocok atau tidak bisa menjalani regimen standar 6 bulan, atau pada kasus TB yang sudah menunjukkan gejala resistansi terhadap obat tertentu.
Dalam regimen ini, pasien biasanya mengonsumsi kombinasi obat yang hampir sama dengan rejimen standar, namun dengan waktu pengobatan yang lebih panjang untuk memastikan efektivitas pengobatan.
Selain itu, regimen ini juga sering dipakai untuk pasien dengan komplikasi kesehatan lain yang memerlukan penyesuaian dalam pengobatan.
Karena durasi pengobatan lebih lama, pasien perlu mendapat dukungan lebih, baik dari tenaga medis maupun keluarga, agar tetap konsisten menjalani pengobatan hingga tuntas.
Dalam memastikan pengobatan TB dilakukan secara menyeluruh dan hingga tuntas, proses pengawasan minum obat juga penting untuk dilakukan bisa melalui metode DOT atau vDOT.
DOT (Directly Observed Therapy) adalah metode di mana petugas kesehatan mengawasi langsung pasien saat minum obat.
Sekarang sudah ada juga versi digitalnya, yaitu vDOT (video DOT), yang memudahkan pasien dan petugas melakukan pengawasan lewat video call.
Hal ni penting untuk dilakukan karena banyak pasien yang berhenti minum obat setelah merasa sembuh.
Padahal, menghentikan pengobatan sebelum waktunya bisa membuat bakteri TB kebal terhadap obat.
Obat TB memang cukup kuat, dan bisa menimbulkan efek samping seperti:
Kalau mengalami gejala-gejala ini, segera konsultasikan ke dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat, tapi jangan menghentikan minum obat sendiri tanpa izin dokter.
Tuberkulosis memang penyakit serius, tapi bukan berarti tidak bisa dilawan. Dengan langkah pencegahan yang tepat kita bisa menekan angka penularan.
Dan kalaupun sudah terkena TB aktif, jalani pengobatan sampai selesai. Jangan berhenti di tengah jalan karena TB bisa sembuh total asal disiplin.
Jaga diri dan orang-orang di sekitar kita dari TB. Mulai dari hal kecil seperti menutup mulut saat batuk hingga ikut tes TB kalau merasa pernah terpapar.
Semakin cepat diketahui, semakin besar peluang untuk sembuh.
Sumber: